DUA SAHABAT
Hari itu udara panas sekali. Terlihat
dua anak kecil sedang asik minum es teh manis sambil bermain ayunan di bawah
pohon di suatu taman.
“Panasnya hari ini !” keluh
Reza.
“Kamu itu sukanya ngeluh aja” jawab Santi.
“Memang benarkan ? panas ?”
“Iya sih, tapi kan...”
“Ah, udah, yuk pulang yuk” ajak
Reza.
Meraka pun beranjak dari ayunan,
berjalan menuju rumah mereka. Dengan udara panas seperti itu, membuat Santi
menjadi pusing.
”Huh, pusingnya,” kata Santi.
“Kenapa ? kamu sakit ? ya udah sini
ku gendong.”
Santi pun akhirnya digendong Reza.
Jarak yang mereka tempuh sekitar 300 meter. Jadi cukup melelahkan untuk Reza
jika dia harus menggendong Santi.
“Huh, tubuhmu berat sekali sih.”
“Kalau nggak niat gendong ya udah,
biar aku jalan sendiri saja.” Jawab Santi sinis.
“Ya ya, demi sahabat rela deh.”
“Gitu dong, demi sahabat sendiri
harus rela.”
Selama perjalanan Santi hanya
menyanyi-nyanyi saja. Reza terlihat lelah dan wajahnya memucat. Dia terlihat
tidak enak badan. Dengan beban di punggungnya dan udara yang panas membuat Reza
menjadi kelelahan.
Setelah berjalan sekitar cukup lama,
akhirnya mereka sampai di rumah Santi.
“Yup, stop,! Terimakasih ya Za, udah
mau menggendong Santi, sahabatmu yang cantik ini.”
“Iya, heh, huh,huh” jawab Reza
dengan nafas ngos-ngosan.
“Ya udah aku masuk dulu ya”.
“Bruk !!”
Belum sempat Santi membalikkan badan
Reza terjatuh, tersungkur di depan rumah Santi. Santi hanya terheran.
“Loh Za, kamu kenapa ? Za ! Za ! ma
! mama !”
“Loh San, Reza kenapa ? ya udah bawa
masuk saja dulu.”
Mereka pun segera membawa Reza ke
dalam rumah. Kemudian mereka menidurkannya di sofa depan TV.
Mereka pun menunggu Reza siuman.
Sambil menunggu, ibu Santi mencoba menelepon orang tua Reza. Santi terlihat
gelisah. Berkali-kali ia mencoba membangunkan Reza. jari-jari tangan ibu Santi
masih memencet-mencet nomer telepon. Sudah tersambung tapi masih belum ada
jawaban.
Lima menit kemudian.
“Halo, ada apa mbak?”
“Lagi di kantor apa di rumah
sekarang ?”
“Baru saja nyampek, Reza ada di sana
ya ?”
“Iya, ini dia pingsan, cepat ke sini
ya.”
“Hah, pingsan,? Ya ya lima menit
nyampek sana.”
Sambil menunggu orang tua Reza
datang, Santi mengambil air putih hangat buat nanti diminum Reza jika sudah
siuman. Tak berselang lama akhirnya Reza siuman.
“Alhamdulillah.”
“Ini minum dulu,“ Santi menyodorkan
segelas air putih hangat kepada Reza.
“Ting, tong !!”
“Itu pasti mereka.” Kata ibu Santi.
Santi segera membukakan pintu dan
mempersilahkan orang tua Reza masuk. Wajah ibu Reza terlihat gelisah.
“Kenapa kamu bisa pingsan ?
memangnya Reza tadi kenapa San ?”
“Anu, tadi pas waktu...”
“Udah aku nggak papa kok ma, yuk
kita pulang yuk. Ayo kita pulang yah.”
“Kenapa kamu tadi bisa pingsan ?”
“Nggak penting, yang penting acara
TV kesukaanku, udah mau mulai nih, ayo cepetan pulang.”
“Ya sudah kalau gitu, kita pulang
dulu ya mbak, makasih udah mau nolongin Reza.”
“Ya, nanti malam aku akan kesana.”
“Ya sudah kita pulang dulu.”
Memang keluarga mereka sangat dekat,
sudah seperti saudara. Memang tidak ada hubungan darah, tapi ibu Santi sudah
dianggap kakak oleh ibu Reza. Terlebih lagi perusahaan ayah mereka berdua sudah
berkerja sama dari dulu.
Malam harinya keluarga Santi
menjenguk Reza. Dua keluarga tersebut berbincang-bincang sambil memakan jagung
bakar di depan TV. Reza dan Santi terlihat sedang berebut remot TV, sepertinya
Reza sudah sehat kembali. Banyak yang mereka bahas, mulai dari nilai ulangan
Reza dan Santi yang sama sampai Reza pingsan karena kelelahan menggendong
Santi. Cukup lama mereka berbincang-bincang. Sampai pukul 9 Santi mengajak
pulang karena dia sudah ngantuk berat.
Pagi harinya udara jauh berbeda,
cuaca pagi ini cukup cerah. Santi berangkat sekolah dengan diantar ayahnya.
Mereka mampir ke rumah Reza terlebih dahulu. Terlihat ayah Reza sedang mencuci
mobil di halaman depan rumah.
“Reza sudah berangkat belum om ?”
tanya Santi.
“Oh, Rez, Reza ! ini ada Santi nih
!”
“Iya yah.”
Akhirnya Reza ikut diantar ayah
Santi. Mereka itu, satu sekolahan, satu kelas dan satu bangku. SDN 1 Bandung,
di sanalah mereka bersekolah, dan duduk di kelas 4. Mereka berdua memang
sahabat yang sudah bagai saudara sendiri. Ke kantin sama-sama, ke perpus
sama-sama, ngerjain tugas sama-sama, sampai teman-temannya menganggap mereka
itu berpacaran.
“Tet !! tet !! tet !!” pelajaran
pertama dimulai. Mereka mengikutinya dengan penuh konsentrasi. Pelajaran demi
pelajran mereka lewati dengan serius dan sedikit bercanda, seperti biasanya.
“Tet !! tet !! tet !!” jam pulang
sekolah berbunyi. Hari ini mereka sengaja tidak ingin dijemput. Mereka ingin
berjalan kaki menuju rumah dengan menempuh jarak sekitar 2 km.
Perjalanan mereka berhenti di sebuah
tepi sungai yang cukup jernih dengan dihiasi padang rumput yang cukup luas di
dekitarnya. Itulah yang membuat tempat itu menjadi tempat favorit mereka
berdua. Disalah satu pohon, terukir nama mereka berdua “Reza & Santi Best
Friend Forever”.
“Tau nggak...” Reza memulai
pembicaraan.
“Nggak !”
“Aku belum selesai ngomong !”
“Oh, gitu ya ?” jawab Santi dengan
santai.
“Aku serius nih, jangn bercanda gitu
dong !”
“Ya, ya serius, serius.”
“Minggu depan ayahku pindah ke Surabya,
pamanku sedang sakit keras, dan ayahku dipercaya untuk menjalankan perusahaan
pamanku.”
“Terus kenapa ?” Santi terlihat
bingung.
“Semua keluargaku pindah kesana, tak
terkecuali aku.” Pikiran Santi kini berkecamuk antara bingung, sedih, dan kaget.
“Hah..?” Santi belum percaya,
setelah apa yang dikatakan Reza barusan.
“Ya, minggu depan aku sudah tidak
ada di sini lagi.”
Santi hanya tergeletak di
rerumputan, tak bisa bicara apa-apa. Lima belas menit telah berlalu, Santi
tetap terdiam membisu. Mereka hanya tiduran di atas rerumputan sambil memandang
langit.
“Di Surabaya apa ada ya, tempat
kayak gini ?” Reza mencoba mengusir kesunyian. Lawan bicaranya masih terdiam
saja.
“Diajak bicara malah diem aja,
kayaknya udah siang deh, pulang yuk.” Reza membangunkan Santi dan
menggendongnya.
“Kali ini aku nggak akan pingsan
lagi.” Santi hanya tersenyum mendengar perkataan Reza.
Tujuh hari telah berlalu. Hari ini
adalah hari keberangkatan Reza sekeluarga menuju Surabaya. Keluarga Santi ikut
mengantar mereka ke bandara. Isak tangis kedua keluarga pun tak bisa di
bendung.
“Aku pergi dulu San, jangan rindukan
aku.” Teriak Reza.
“Jaga dirimu baik-baik. Sekali Best
Friend Forever, selamanya tetap best friend forever”
Pasawat yang ditumpangi Reza pun
akhirnya lepas landas dari bandara. Meninggalkan Santi sekeluarga dalam balutan
kesedihan.
Hari-hari yang mereka lewati kini
bagaikan nasi tanpa lauk, hambar. Santi kini seperti orang linglung,
kemana-mana sendiri, ngomong sendiri. Banyak teman-temannya yang
mengolok-oloknya.
“Ditinggal pacar nih, sedihnya.”
Lain Santi, lain pula Reza, karena
Reza anak baru, banyak temannya yang ingin berkenalan dengan dia. Jadi, dia
mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya itu. Tapi tetap saja, di dirinya
terasa ada yang kurang. Dia merasa ada yang hilang dari dirinya.
Hari demi hari, mingu demi minggu,
bulan demi bulan, tahun demi tahun, keduanya kini mulai bisa melupakan kenangan
mereka berdua semasa mereka dalam kebersamaan. Hari ini tepat 8 tahun sudah
Reza meninggalkan Santi. Reza memang tak pernah mengirim surat setelah surat
terakhir yang dia kirim kepada Santi pada awal kelas 6 SD tidak dibalas oleh
Santi.
Setelah lulus SMA, Reza ingin balik
lagi ke Bandung, dia ingin kuliah di Bandung dijurusan teknik, dan setelah
lulus kuliah dia dipercaya ayahnya untuk menjalankan perusahaan milik ayahnya.
Hari ini dia sekeluarga kembali lagi
ke Bandung, mendiami rumahnya yang dulu. Tempat pertama yang ingin di kunjungi
Reza adalah, tepi sungai yang dihiasi padang rumput yang menjadi tempat favorit
Reza dan Santi dulu.
“Ma, aku pergi dulu mau ke sungai.”
“Ya hati-hati.”
Dengan menggunakan sepeda dia menuju
tepi sungai. Tempat itu kini banyak perubahan, tidak seperti dulu. Dia teringat
dengan salah satu pohon, “masih ada” gumamnya. Tulisannya nggak terlalu jelas
tapi itu memang pohon yang dia ukir bersama Santi. Terlihat seorang gadis
sedang melempar-lempar batu di tepi sungai.
“Mbak, kenal yang namanya Santi ?”
tanya Reza kepada gadis tersebut.
“Aku Santi, kamu siapa ?”
“Ini aku San, Reza, masa nggak
kenal”
“Hah...Reza, ini beneran kamu Za”
akhirnya kedua sahabat kembali bersatu.
TAMAT