Kamis, 08 Maret 2012

CERPEN

DUA SAHABAT
            Hari itu udara panas sekali. Terlihat dua anak kecil sedang asik minum es teh manis sambil bermain ayunan di bawah pohon di suatu taman.
            “Panasnya hari ini !” keluh Reza.
            “Kamu itu sukanya ngeluh aja” jawab Santi.
            “Memang benarkan ? panas ?”
            “Iya sih, tapi kan...”
            “Ah, udah, yuk pulang yuk” ajak Reza.
            Meraka pun beranjak dari ayunan, berjalan menuju rumah mereka. Dengan udara panas seperti itu, membuat Santi menjadi pusing.
            ”Huh, pusingnya,” kata Santi.
            “Kenapa ? kamu sakit ? ya udah sini ku gendong.”
            Santi pun akhirnya digendong Reza. Jarak yang mereka tempuh sekitar 300 meter. Jadi cukup melelahkan untuk Reza jika dia harus menggendong Santi.
            “Huh, tubuhmu berat sekali sih.”
            “Kalau nggak niat gendong ya udah, biar aku jalan sendiri saja.” Jawab Santi sinis.
            “Ya ya, demi sahabat rela deh.”
            “Gitu dong, demi sahabat sendiri harus rela.”
            Selama perjalanan Santi hanya menyanyi-nyanyi saja. Reza terlihat lelah dan wajahnya memucat. Dia terlihat tidak enak badan. Dengan beban di punggungnya dan udara yang panas membuat Reza menjadi kelelahan.
            Setelah berjalan sekitar cukup lama, akhirnya mereka sampai di rumah Santi.
            “Yup, stop,! Terimakasih ya Za, udah mau menggendong Santi, sahabatmu yang cantik ini.”
            “Iya, heh, huh,huh” jawab Reza dengan nafas ngos-ngosan.
            “Ya udah aku masuk dulu ya”.
            “Bruk !!”
            Belum sempat Santi membalikkan badan Reza terjatuh, tersungkur di depan rumah Santi. Santi hanya terheran.
            “Loh Za, kamu kenapa ? Za ! Za ! ma ! mama !”
            “Loh San, Reza kenapa ? ya udah bawa masuk saja dulu.”
            Mereka pun segera membawa Reza ke dalam rumah. Kemudian mereka menidurkannya di sofa depan TV.
            Mereka pun menunggu Reza siuman. Sambil menunggu, ibu Santi mencoba menelepon orang tua Reza. Santi terlihat gelisah. Berkali-kali ia mencoba membangunkan Reza. jari-jari tangan ibu Santi masih memencet-mencet nomer telepon. Sudah tersambung tapi masih belum ada jawaban.
            Lima menit kemudian.
            “Halo, ada apa mbak?”
            “Lagi di kantor apa di rumah sekarang ?”
            “Baru saja nyampek, Reza ada di sana ya ?”
            “Iya, ini dia pingsan, cepat ke sini ya.”
            “Hah, pingsan,? Ya ya lima menit nyampek sana.”
            Sambil menunggu orang tua Reza datang, Santi mengambil air putih hangat buat nanti diminum Reza jika sudah siuman. Tak berselang lama akhirnya Reza siuman.
            “Alhamdulillah.”
            “Ini minum dulu,“ Santi menyodorkan segelas air putih hangat kepada Reza.
            “Ting, tong !!”
            “Itu pasti mereka.” Kata ibu Santi.
            Santi segera membukakan pintu dan mempersilahkan orang tua Reza masuk. Wajah ibu Reza terlihat gelisah.
            “Kenapa kamu bisa pingsan ? memangnya Reza tadi kenapa San ?”
            “Anu, tadi pas waktu...”
            “Udah aku nggak papa kok ma, yuk kita pulang yuk. Ayo kita pulang yah.”
            “Kenapa kamu tadi bisa pingsan ?”
            “Nggak penting, yang penting acara TV kesukaanku, udah mau mulai nih, ayo cepetan pulang.”
            “Ya sudah kalau gitu, kita pulang dulu ya mbak, makasih udah mau nolongin Reza.”
            “Ya, nanti malam aku akan kesana.”
            “Ya sudah kita pulang dulu.”
            Memang keluarga mereka sangat dekat, sudah seperti saudara. Memang tidak ada hubungan darah, tapi ibu Santi sudah dianggap kakak oleh ibu Reza. Terlebih lagi perusahaan ayah mereka berdua sudah berkerja sama dari dulu.
            Malam harinya keluarga Santi menjenguk Reza. Dua keluarga tersebut berbincang-bincang sambil memakan jagung bakar di depan TV. Reza dan Santi terlihat sedang berebut remot TV, sepertinya Reza sudah sehat kembali. Banyak yang mereka bahas, mulai dari nilai ulangan Reza dan Santi yang sama sampai Reza pingsan karena kelelahan menggendong Santi. Cukup lama mereka berbincang-bincang. Sampai pukul 9 Santi mengajak pulang karena dia sudah ngantuk berat.
            Pagi harinya udara jauh berbeda, cuaca pagi ini cukup cerah. Santi berangkat sekolah dengan diantar ayahnya. Mereka mampir ke rumah Reza terlebih dahulu. Terlihat ayah Reza sedang mencuci mobil di halaman depan rumah.
            “Reza sudah berangkat belum om ?” tanya Santi.
            “Oh, Rez, Reza ! ini ada Santi nih !”
            “Iya yah.”
            Akhirnya Reza ikut diantar ayah Santi. Mereka itu, satu sekolahan, satu kelas dan satu bangku. SDN 1 Bandung, di sanalah mereka bersekolah, dan duduk di kelas 4. Mereka berdua memang sahabat yang sudah bagai saudara sendiri. Ke kantin sama-sama, ke perpus sama-sama, ngerjain tugas sama-sama, sampai teman-temannya menganggap mereka itu berpacaran.
            “Tet !! tet !! tet !!” pelajaran pertama dimulai. Mereka mengikutinya dengan penuh konsentrasi. Pelajaran demi pelajran mereka lewati dengan serius dan sedikit bercanda, seperti biasanya.
            “Tet !! tet !! tet !!” jam pulang sekolah berbunyi. Hari ini mereka sengaja tidak ingin dijemput. Mereka ingin berjalan kaki menuju rumah dengan menempuh jarak sekitar 2 km.
            Perjalanan mereka berhenti di sebuah tepi sungai yang cukup jernih dengan dihiasi padang rumput yang cukup luas di dekitarnya. Itulah yang membuat tempat itu menjadi tempat favorit mereka berdua. Disalah satu pohon, terukir nama mereka berdua “Reza & Santi Best Friend Forever”.
            “Tau nggak...” Reza memulai pembicaraan.
            “Nggak !”
            “Aku belum selesai ngomong !”
            “Oh, gitu ya ?” jawab Santi dengan santai.
            “Aku serius nih, jangn bercanda gitu dong     !”
            “Ya, ya serius, serius.”
            “Minggu depan ayahku pindah ke Surabya, pamanku sedang sakit keras, dan ayahku dipercaya untuk menjalankan perusahaan pamanku.”
            “Terus kenapa ?” Santi terlihat bingung.
            “Semua keluargaku pindah kesana, tak terkecuali aku.” Pikiran Santi kini berkecamuk antara bingung, sedih, dan kaget.
            “Hah..?” Santi belum percaya, setelah apa yang dikatakan Reza barusan.
            “Ya, minggu depan aku sudah tidak ada di sini lagi.”
            Santi hanya tergeletak di rerumputan, tak bisa bicara apa-apa. Lima belas menit telah berlalu, Santi tetap terdiam membisu. Mereka hanya tiduran di atas rerumputan sambil memandang langit.
            “Di Surabaya apa ada ya, tempat kayak gini ?” Reza mencoba mengusir kesunyian. Lawan bicaranya masih terdiam saja.
            “Diajak bicara malah diem aja, kayaknya udah siang deh, pulang yuk.” Reza membangunkan Santi dan menggendongnya.
            “Kali ini aku nggak akan pingsan lagi.” Santi hanya tersenyum mendengar perkataan Reza.
            Tujuh hari telah berlalu. Hari ini adalah hari keberangkatan Reza sekeluarga menuju Surabaya. Keluarga Santi ikut mengantar mereka ke bandara. Isak tangis kedua keluarga pun tak bisa di bendung.
            “Aku pergi dulu San, jangan rindukan aku.” Teriak Reza.
            “Jaga dirimu baik-baik. Sekali Best Friend Forever, selamanya tetap best friend forever”
            Pasawat yang ditumpangi Reza pun akhirnya lepas landas dari bandara. Meninggalkan Santi sekeluarga dalam balutan kesedihan.
            Hari-hari yang mereka lewati kini bagaikan nasi tanpa lauk, hambar. Santi kini seperti orang linglung, kemana-mana sendiri, ngomong sendiri. Banyak teman-temannya yang mengolok-oloknya.
            “Ditinggal pacar nih, sedihnya.”
            Lain Santi, lain pula Reza, karena Reza anak baru, banyak temannya yang ingin berkenalan dengan dia. Jadi, dia mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya itu. Tapi tetap saja, di dirinya terasa ada yang kurang. Dia merasa ada yang hilang dari dirinya.
            Hari demi hari, mingu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, keduanya kini mulai bisa melupakan kenangan mereka berdua semasa mereka dalam kebersamaan. Hari ini tepat 8 tahun sudah Reza meninggalkan Santi. Reza memang tak pernah mengirim surat setelah surat terakhir yang dia kirim kepada Santi pada awal kelas 6 SD tidak dibalas oleh Santi.
            Setelah lulus SMA, Reza ingin balik lagi ke Bandung, dia ingin kuliah di Bandung dijurusan teknik, dan setelah lulus kuliah dia dipercaya ayahnya untuk menjalankan perusahaan milik ayahnya.
            Hari ini dia sekeluarga kembali lagi ke Bandung, mendiami rumahnya yang dulu. Tempat pertama yang ingin di kunjungi Reza adalah, tepi sungai yang dihiasi padang rumput yang menjadi tempat favorit Reza dan Santi dulu.
            “Ma, aku pergi dulu mau ke sungai.”
            “Ya hati-hati.”
            Dengan menggunakan sepeda dia menuju tepi sungai. Tempat itu kini banyak perubahan, tidak seperti dulu. Dia teringat dengan salah satu pohon, “masih ada” gumamnya. Tulisannya nggak terlalu jelas tapi itu memang pohon yang dia ukir bersama Santi. Terlihat seorang gadis sedang melempar-lempar batu di tepi sungai.
            “Mbak, kenal yang namanya Santi ?” tanya Reza kepada gadis tersebut.
            “Aku Santi, kamu siapa ?”
            “Ini aku San, Reza, masa nggak kenal”
            “Hah...Reza, ini beneran kamu Za” akhirnya kedua sahabat kembali bersatu.
TAMAT
Baca Selanjutnya..